Review Novel "Sitti Nurbaya"

Lia Susanti

Pengantar

Novel "Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai" karya Marah Rusli adalah salah satu karya sastra klasik Indonesia yang paling terkenal. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1922, novel ini menggambarkan kisah cinta yang tragis antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri, serta kritik sosial terhadap adat dan budaya yang mengekang kebebasan individu. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang novel ini, mulai dari latar belakang penulis, sinopsis cerita, karakter utama, tema dan pesan moral, hingga pengaruh dan relevansi novel ini di masa kini.

Latar Belakang Penulis

Marah Rusli, penulis novel "Sitti Nurbaya", lahir di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ia adalah seorang sastrawan besar Indonesia yang dikenal karena karyanya yang melampaui zamannya. Marah Rusli berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau dan memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Ia menempuh pendidikan di sekolah kedokteran hewan di Bogor dan kemudian bekerja sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952.

Meskipun lebih dikenal sebagai sastrawan, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan. Kesukaannya terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak kecil, dan ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya.

Sinopsis Cerita

Novel "Sitti Nurbaya" mengisahkan tentang Sitti Nurbaya, seorang wanita muda dari keluarga bangsawan Minangkabau, yang jatuh cinta dengan Samsulbahri, seorang pemuda yang berjuang untuk membebaskan rakyat dari penjajahan Belanda. Namun, hubungan mereka terhalang oleh perbedaan kasta dan adat yang menjadi pedoman hidup masyarakat Minangkabau pada waktu itu.

Dalam cerita ini, ada tokoh antagonis bernama Datuk Maringgih, seorang tokoh yang disegani di kampung mereka. Ia memendam rasa iri terhadap kesuksesan ayah Sitti dan menyebabkan bisnis Baginda Sulaiman, ayah Sitti, gagal dan bangkrut. Untuk menghapuskan hutang Baginda Sulaiman, Datuk Maringgih mengajukan tawaran agar Sitti Nurbaya menikah dengannya. Baginda Sulaiman terpaksa menerima kesepakatan tersebut, dan Sitti Nurbaya dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih.

BACA JUGA:   Review Novel "Life of Pi"

Karakter Utama

Sitti Nurbaya

Sitti Nurbaya adalah tokoh utama dalam novel ini. Ia digambarkan sebagai seorang wanita muda yang cantik, cerdas, dan berbakti kepada orang tuanya. Meskipun terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih, Sitti tetap setia pada cintanya kepada Samsulbahri. Karakter Sitti Nurbaya mencerminkan perjuangan wanita dalam menghadapi tekanan adat dan budaya yang mengekang kebebasan mereka.

Samsulbahri

Samsulbahri adalah kekasih Sitti Nurbaya dan seorang pemuda yang berjuang untuk membebaskan rakyat dari penjajahan Belanda. Ia digambarkan sebagai sosok yang gagah berani dan penuh semangat. Meskipun cintanya kepada Sitti Nurbaya terhalang oleh adat dan budaya, Samsulbahri tetap berusaha untuk memperjuangkan kebahagiaan mereka.

Datuk Maringgih

Datuk Maringgih adalah tokoh antagonis dalam novel ini. Ia digambarkan sebagai sosok yang licik, iri hati, dan penuh dendam. Datuk Maringgih menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan memaksa Sitti Nurbaya menikah dengannya. Karakter Datuk Maringgih mencerminkan kekuasaan dan ketidakadilan yang sering terjadi dalam masyarakat.

Tema dan Pesan Moral

Kritik Terhadap Adat dan Budaya

Salah satu tema utama dalam novel "Sitti Nurbaya" adalah kritik terhadap adat dan budaya yang mengekang kebebasan individu. Melalui kisah cinta Sitti Nurbaya dan Samsulbahri, Marah Rusli menggambarkan bagaimana adat dan budaya dapat menjadi penghalang bagi kebahagiaan seseorang. Novel ini mengajak pembaca untuk berpikir kritis terhadap adat dan budaya yang tidak adil dan menindas.

Perjuangan dan Pengorbanan

Tema lain yang diangkat dalam novel ini adalah perjuangan dan pengorbanan. Sitti Nurbaya dan Samsulbahri harus menghadapi berbagai rintangan dan pengorbanan untuk memperjuangkan cinta mereka. Melalui karakter-karakter ini, Marah Rusli menunjukkan bahwa perjuangan dan pengorbanan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan keberanian dan keteguhan hati.

BACA JUGA:   Review Novel Salah Asuhan

Keadilan dan Ketidakadilan

Novel "Sitti Nurbaya" juga mengangkat tema keadilan dan ketidakadilan. Karakter Datuk Maringgih mencerminkan ketidakadilan yang sering terjadi dalam masyarakat, di mana kekuasaan dan kekayaan digunakan untuk menindas orang lain. Melalui kisah ini, Marah Rusli mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya keadilan dalam kehidupan.

Pengaruh dan Relevansi di Masa Kini

Pengaruh dalam Sastra Indonesia

Novel "Sitti Nurbaya" memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan sastra Indonesia. Karya ini dianggap sebagai salah satu novel pertama yang mengangkat tema kritik sosial dan memperjuangkan hak-hak individu. Banyak sastrawan Indonesia yang terinspirasi oleh karya Marah Rusli dan mengikuti jejaknya dalam menulis karya-karya yang kritis terhadap adat dan budaya.

Relevansi di Masa Kini

Meskipun ditulis hampir seabad yang lalu, novel "Sitti Nurbaya" masih relevan hingga saat ini. Tema-tema yang diangkat dalam novel ini, seperti kritik terhadap adat dan budaya, perjuangan dan pengorbanan, serta keadilan dan ketidakadilan, masih menjadi isu-isu yang relevan dalam masyarakat modern. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai kemanusiaan yang selalu ada pada tiap zaman.

Kesimpulan

Novel "Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai" karya Marah Rusli adalah sebuah karya sastra yang sangat penting dan patut dibaca oleh semua orang. Melalui kisah cinta yang tragis antara Sitti Nurbaya dan Samsulbahri, Marah Rusli berhasil menggambarkan kritik sosial terhadap adat dan budaya yang mengekang kebebasan individu. Novel ini juga mengangkat tema-tema perjuangan dan pengorbanan, serta keadilan dan ketidakadilan, yang masih relevan hingga saat ini. Dengan demikian, "Sitti Nurbaya" tetap menjadi salah satu karya sastra klasik Indonesia yang abadi.

: Goodreads
: Kumparan
: UH Press
: Google Books

Also Read

Bagikan:

Tags