"Canting" merupakan novel karya maestro sastra Indonesia, Arswendo Atmowiloto. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1984 dan hingga kini masih mendapat tempat di hati para penikmat sastra. Melalui alur cerita yang dinamis dan karakter yang kompleks, Arswendo berhasil mengusung tema kritik sosial yang tajam dan sindiran terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia pada era tersebut.
Cerita yang Memikat dan Penuh Peristiwa
Novel "Canting" menghadirkan kisah yang sarat makna dan konflik. Kisah berpusat pada kehidupan Nyai Sumarsih, seorang janda kaya yang memiliki tiga anak: Sri, Lilik, dan Sugi. Nyai Sumarsih merupakan tokoh yang ambisius dan penuh intrik, sekaligus memiliki sisi emosional yang rumit.
Cerita diawali dengan perebutan kekuasaan dalam keluarga Nyai Sumarsih setelah suaminya meninggal. Sri, anak sulungnya, mencoba memperoleh kekuasaan dengan membujuk sang ibu untuk menikah lagi dengan mantan kekasihnya, Sumarno. Sumarno diharapkan dapat menjadi alat Sri untuk menguasai kekayaan keluarga.
Namun, Lilik, anak kedua, merasa terpinggirkan dan berusaha mempertahankan kekuasaan Nyai Sumarsih di tangan Sri. Lilik memiliki karakter yang cerewet, tapi juga memiliki ketajaman intelektual yang kadang terlupakan. Sementara itu, Sugi adalah anak bungsu yang memiliki kecenderungan introvert dan lebih tertarik pada dunia seni. Sugi merupakan tokoh yang senang merenung dan mencari makna hidup.
Konflik antara Sri, Lilik, dan Sugi semakin kompleks dengan munculnya tokoh lain seperti Pak Somad, seorang pria tua yang memiliki hubungan rumit dengan Nyai Sumarsih. Pak Somad adalah tokoh yang bijaksana dan sering memberikan nasihat pada Nyai Sumarsih dan anak-anaknya.
Sindiran Pedas Terhadap Masyarakat Indonesia
"Canting" bukan hanya sebuah cerita keluarga, tapi juga cerminan masyarakat Indonesia pada era tersebut. Arswendo mengungkapkan berbagai masalah sosial yang terjadi di Indonesia, seperti perebutan kekayaan, ketidakadilan, ketidakharmonisan dalam keluarga, dan ketidakpercayaan antara satu sama lain.
Melalui karakter-karakter yang kompleks, Arswendo menampilkan berbagai tipe manusia dengan motivasi dan kepribadian yang berbeda. Ada tokoh yang ambisius, egois, dan licik. Ada juga tokoh yang bijaksana, baik hati, dan berusaha menjaga nilai-nilai moral.
Dengan menggunakan bahasa yang sangat hidup dan memikat, Arswendo mampu menghidupkan tokoh-tokoh dalam novelnya. Dia menampilkan dialog-dialog yang bermakna dan mencerminkan perilaku dan kepribadian masing-masing tokoh.
Penggambaran Realitas yang Menusuk
Salah satu keunggulan "Canting" adalah kemampuan Arswendo dalam menggambarkan realitas sosial yang menusuk. Melalui kisah keluarga Nyai Sumarsih, Arswendo mengungkap perilaku manusia yang seringkali diliputi oleh keserakahan, kecemburuan, dan ketidakpercayaan.
Arswendo juga tidak segan menampilkan kritik terhadap sistem sosial yang berlaku pada saat itu. Misalnya, dia menampilkan ketidakadilan dalam sistem hukum, kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak jujur, dan ketidaksamaan peluang dalam masyarakat.
Metafora "Canting" sebagai Simbol
Judul "Canting" memiliki makna yang mendalam dalam novel ini. Canting merupakan alat tradisional yang digunakan dalam membuat batik. Alat ini memiliki fungsi untuk menyerap warna dan menciptakan pola yang indah pada kain.
Arswendo menggunakan metafora canting untuk menyatakan bahwa hidup adalah sebuah proses penyerapan dan penciptaan. Setiap manusia memiliki "canting" masing-masing yang berfungsi untuk menyerap pengalaman hidup dan menciptakan makna hidup mereka sendiri.
Melalui metafora ini, Arswendo ingin mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka dan makna yang mereka cipta dalam kehidupan ini.
Gaya Bahasa yang Unik dan Menarik
Salah satu keunggulan Arswendo Atmowiloto adalah kemampuannya dalam menggunakan bahasa. Gaya bahasa dalam "Canting" unik dan menarik. Arswendo menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, tapi tetap memiliki kekuatan dalam mengungkap maksud dan pesan dalam novelnya.
Dia menampilkan dialog-dialog yang memikat dan mencerminkan kepribadian masing-masing tokoh. Selain itu, Arswendo juga menggunakan bahasa yang humor dan satira dalam menampilkan kritik sosialnya. Gaya bahasa yang unik ini membuat "Canting" menarik untuk dibaca dan mudah dicerna.
Kesimpulan:
Arswendo Atmowiloto berhasil menciptakan sebuah novel yang memikat, penuh makna, dan sarat dengan kritik sosial. "Canting" tidak hanya menghadirkan cerita keluarga yang rumit dan penuh intrik, tapi juga menyuguhkan refleksi yang tajam terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan gaya bahasa yang unik dan penggunaan metafora yang mendalam, novel ini menawarkan pesona tersendiri bagi para penikmat sastra. "Canting" merupakan salah satu karya yang patut dibaca dan direnungkan hingga saat ini.